Senin, 07 Mei 2012

teks uji rumpang


Abstrak
Tes Rumpang (TR) diakui oleh banyak pakar sebagai teknik yang paling berhasil digunakan untuk mengestimasi keterbacaan wacana berbahasa Indonesia. Seorang pakar membaca yang sangat dikenal, Prof. Dr. H. Ahmad Slamed Harjasujana (1987)  menyebut TR sebagai teknik yang valid. Nadeak (1996) menjulukinya sebagai teknik yang relatif obyektif, sementara Damaianti (1995) memandang TR sebagai teknik yang sangkil dan mangkus. Tulisan ini dimaksudkan untuk memperkenalkan ihwal TR, mulai dari pengertian sampai pada teknik pemanfaatannya.
Kata kunci: keterbacaan wacana, tes rumpang

A. PENGERTIAN TES RUMPANG
Dari literatur yang sempat penulis pelajari, diketahui bahwa Tes Rumpang ini mula-mula diperkenalkan oleh Wilson Taylor (1953). Beliau menamainya dengan sebutan Cloze Prosedure, yang oleh para pencinta bahasa Indonesia,  diindonesiakan  menjadi   “prosedur klos/tes klos”.   Dalam tulisan ini penulis mengganti istilah Tes Klos dengan Tes Rumpang. Demi menghemat ruang, istilah Tes Rumpang ini dalam sajian selanjutnya disingkat menjadi TR.
Beberapa pakar dan pemerhati di bidang membaca membuat definisi yang  beragam mengenai TR ini.  Keberagaman ini kelihatannya didasari oleh keberagaman sudut pandang mereka masing-masing.  Robert (1980:71)  mengangkat definisi yang dibuat langsung oleh Taylor (1953:) selaku pencipta teknik ini.  Definisi ini oleh Damaianti (1995:71) dikutip untuk membekali kita –para pembaca– dengan informasi dari sumber aslinya. Definisi tersebut bunyinya sebagai berikut.
The cloze procedure as a method of intercepting a message from ‘trasnmitter’ (writer or speaker),  mutilating it’s language patterns by deleting parts, and so administering it to ‘receivers’ (readers and listeners)  that their attempts to make patterns whole again yield a considerable number of cloze units.
Dengan memahami definisi yang diangkat Damaianti itu,  kita dapat mengetahui bahwa TR menggambarkan suatu  metode yang sengaja dirancang untuk melatih daya tangkap pembaca  terhadap pesan penulis dengan jalan memotong pola bahasa pada bagian-bagian yang dilesapkan/dirumpangkan. Setelah itu para pembaca dituntut mampu mengolahnya  menjadi pola yang utuh  seperti wujudnya semula,  dengan cara mengisi bagian yang dirumpangkan.
Untuk dapat mengimplementasikannya, pembaca wacana rumpang harus mampu berpikir secara analitis dan kritis guna menyelami jalan  pikiran penulis wacananya. Pembaca dengan pemahaman sempurna, dituntut mampu  memahami wacana yang  tidak lengkap itu  sebelum mengisi bagian kata yang  dilesapkan dengan satu kata yang paling tepat. Dengan begitu,  secara tidak langsung  sebenarnya TR dapat merefleksikan pemahaman seseorang terhadap sebuah wacana. Jika dikaji lebih mendalam, ternyata kita juga dapat memanfaatkan TR  ini untuk melihat intelegensi pembaca dan penulis teks serta hubungan yang satu dengan yang lainnya.
B.  KEUNGGULAN TR
Beberapa pemerhati keterbacaan, seperti Paulston (1978), Chek (1983), Harjasujana  (1987), Tampubolon (1990), Sakri (1994), Damaianti (1995),  Mulyati (1995), dan  Salem (1999)  mengatakan  bahwa  di antara  sekian banyak teknik yang  dipakai  selama ini, TR dipandang sebagai salah satu teknik yang  paling berhasil digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana.  Untuk meyakinkan pembaca  tentang informasi ini,  mari  kita simak pandangan sebagian dari mereka.
Harjasujana  yang kemudian juga disitir oleh Salem  (1999:49)  mengatakan bahwa TR       “ … diakui sebagai tes keterbacaan yang  valid untuk pembaca yang berbahasa ibu.  Hal ini  menurut beliau sesuai dengan  pembaca bahasa Indonesia yang umumnya mempunyai bahasa ibu, bahasa daerah atau bahasa Indonesia”. Pandangan senada dikemukakan pula oleh Damaianti (1995:78). Beliau menegaskan bahwa TR  “ …  terbukti sebagai  tes yang sangkil dan mangkus”.   Kecuali itu,  Djajasudarma dan Nadeak  (1996: 64)  mengatakan  bahwa  dalam  pengukuran  keterbacaan  wacana,  TR  dipandang sebagai teknik yang     ”… relatif  lebih objektif”  dibandingkan dengan hasil-hasil yang didapat  dengan mempergunakan formula lain. Lebih jauh beliau pun mengatakan bahwa sesungguhnya TR dapat  “ …  mengukur keefektifan suatu wacana langsung kepada pembacanya,  sedangkan formula lain mengukur  keterbacaan hanya dari wacanya.  Selain itu,  teknik ini juga berfungsi sebagai alat  ukur pemahaman  wacana  di samping sebagai alat ukur keterbacaan”.
Hampir senada dengan pandangan terakhir tadi,  Heilmann  dalam Damaianti  (1995: 72)  mengungkapkan pula bahwa TR  “ … berfungsi sebagai sumber informasi mengenai kemampuan pemahaman bacaan seseorang”.  Pandangan seperti ini pun dikuatkan oleh Mulyati (1995: 47) yang menyitir pandangan Bourmuth (1969). Beliau mengatakan bahwa dari hasil penelitian Bourmuth diperoleh kesimpulan bahwa TR mempunyai korelasi yang tinggi  dengan berbagai hasil tes membaca lainnya. Menurutnya, ada dua keunggulan dari  TR ini. Pertama,  teknik ini mencerminkan  keseluruhan  pengaruh yang berinteraksi dalam menentukan keterbacaan sebuah wacana. Kedua, teknik ini mengombinasikan hampir seluruh unsur yang berhubungan dengan penentuan keterbacaan.
C.  PENYUSUNAN INSTRUMEN TR
Sesuai namanya, Tes Rumpang,  maka TR  sebagai  sebuah instrumen untuk mengukur tingkat keterbacaan sebuah wacana, tentulah berupa wacana yang dirumpangkan. Dengan kata lain, wujud lahiriah TR  adalah berupa wacana yang tidak utuh,  karena sebagian  kata-katanya  sengaja  dilesapkan. Pada bagian kata yang dilesapkan itu, diganti dengan garis mendatar yang panjangnya dibuat sama dengan panjang kata yang dilesapkan.
Proses pelesapan kata dari wacana, menurut Mc. Ginnis dan Smith (1982:212) dapat  mengikuti ketentuan berikut. Pertama, pelesapan kata dapat dilakukan secara sistematis dan  konsisten, pada setiap kata ke-n.  Artinya,  kata-kata dilesapkan secara beraturan,  tanpa mempertimbangkan  jenis kata apa yang dilesapkan itu.  Kedua, pelesapan dilakukan tanpa mempertimbangkan kesistematisan. Sehubungan dengan ketentuan kedua ini, Nunan (1991:118) mengatakan bahwa pengujian dengan TR ini dapat dilakukan dengan menentukan kriteria pilihan kata apa yang akan diukur. Misalnya jika peneliti ingin mengukur keterbacaan jenis kata kerja, kata sifat, atau kata jadian (afiks) dalam sebuah wacana yang dipilih, maka kata-kata itulah yang dilesapkan.
Jika kita memilih pelesapan secara sistematis, rupanya terdapat beragam  pendapat  mengenai  pelesapan pada setiap kata ke-n itu. Robinson (1976:32)  mengatakan bahwa  ada  pakar yang  menganjurkan untuk melesapkan pada setiap kata  ketiga,  kelima, dan  ketujuh, bahkan hingga  kata kesepuluh. Huges (1989:64)  menganjurkan pelesapan pada setiap kata ketujuh. Selanjutnya menurut Harjasujana   (1987) “Jumlah penghapusan kata ke-n secara random sebaiknya dibuat  pada tiap kata ke-5 sampai ke-10”.  Bertemali dengan himbauan ini, Damaianti (1995) dalam instrumen untuk tesisnya justru melesapkan  setiap kata kelima secara sistematis.
Dalam proses pelesapan, Taylor (1953) menghimbau kita, para penyusun instrumen TR ini, agar tidak melakukan pelesapan pada kalimat pertama dari wacana yang akan dijadikan sebagai instrumen. Himbauan ini sangat perlu ditindaklanjuti karena bermanfaat sekali sebagai  “pengikat makna”. Tujuannya adalah untuk membantu testi dalam mengestimasi topik yang tersimpan di balik kalimat-kalimat yang membangun wacana tersebut. Hal yang sama juga perlu dilakukan pada kalimat terakhir dari wacana tersebut.
Masih  tentang ketentuan  penyusunan  instrumen TR ini, Cheek (1983:132) menganjurkan  agar wacana yang akan dipakai sebagai instrumen idealnya memiliki panjang berkisar 250 s.d. 300 kata. Sangat dianjurkan untuk memilih “wacana lepas” maksudnya, wacana tersebut harus  bebas dari pengaruh informasi sebelumnya. Hal lain yang juga sangat patut diperhatikan dalam pemilihan wacana yang akan dipakai sebagai instrumen, adalah nilai pedagogis wacana tersebut. Artinya wacana yang dipilih hendaklah wacana yang baik. Menurut Bambang Trim dalam As-Sirjani (2002) “Bacaan yang baik adalah gizi hati”. Mengapa tidak! Melalui uji keterbacaan yang dilakukan,  kita juga membekali siswa  dengan bacaan yang bergizi.  Jika setiap peneliti membekali siswanya dengan instrumen (bahan bacaan) yang bergizi, insya-Allah murid-murid pun akan “berselera”  menggali makna yang tersimpan  di balik wacana yang dirumpangkan itu.
Sebagai seorang peneliti  sebaiknya kita berupaya  memilihkan bahan  bacaan yang baik bagi murid-murid, terlebih lagi bagi guru bahasa Indonesia, karena upaya penumbuhan minat membaca siswa sebenarnya dibebankan –terutama—kepada guru bahasa Indonesia.
D. PROSEDUR PENYUSUNAN INSTRUMEN TR
Taylor (1953) dan Cheek (1983:132) menganjurkan kepada siapa pun yang akan menyusun instrumen TR, agar mengikuti langkah-langkah berikut ini:
·         memilih wacana yang tingkat keterbacaannya selaras dengan daya baca siswa yang akan diuji, dengan  panjang wacana  kurang lebih 250 s.d. 300 kata;
·         melesapkan setiap kata ke-n  (jika mengikuti pola yang sistematis) atau kata tertentu sesuai target ujian;
·         mengganti  kata yang dilesapkan itu dengan garis mendatar sepanjang kata yang dilesapkan. Harap diingat! Pelesapan kata harus  dimulai pada kalimat kedua karena kalimat pertama perlu dibiarkan utuh guna mengikat makna.
Seandainya kita sudah menyelesaikan ketiga langkah pokok di atas, pekerjaan selanjutnya adalah melengkapi instrumen tersebut sehingga layak dipakai untuk mengumpulkan data. Kelengkapan dimaksud adalah:
·         memberi nomor secara berurutan pada setiap garis yang berfungsi sebagai pengganti kata yang dilesapkan itu;
·         menyediakan ruang untuk identitas testi;
·         membaca ulang instrumen yang sudah disusun dan merevisinya (jika ternyata Anda menemukan adanya kesalahan dalam pengetikan);
·         menetapkan alokasi waktu dan menuangkannya dalam lembar instrumen TR atau dapat pula hanya diinformasikan pada siswa di saat pelaksanaan;
·         membuat petunjuk pengerjaan instrumen yang diharapkan dapat membimbing testi selama proses pengisian wacana rumpang itu;
·         membuat kunci jawaban, boleh berupa “kata lepas” atau wacana utuh dari teks yang sudah dilesapkan tadi.
·         membuat pedoman penskoran dan pedoman penilaian.
Untuk menghasilkan instrumen TR yang baik maka setiap calon pengguna instrumen ini dituntut agar secara bersungguh-sungguh mengikuti prosedur kerja yang dijelaskan sebelumnya. Walaupun proses kerjanya kelihatannya sederhana, namun tetap memerlukan keseriusan dalam memilih bahan dan menuntut ketelitian dalam melesapkannya sesuai pilihan teknik kita.
Jika  semua langkah yang dianjurkan sudah diimplementasikan,  insya-Allah instrumen TR dapat diperbanyak sesuai kebutuhan. dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengumpulan data. ….
Selamat mencoba!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar